Man Jada Wajada

Lilin-lilin kecil mulai menari dalam gelap. Menyulut semangat malam yang kan di dekap. Sepintas sisa hujan masih ramai menghias spion nakal. Semuanya menyatu dalam akhir senja yang tak pernah kekal.

...

Selasa, November 04, 2014

Namaku Rey

Namaku Rey. Aku terlahir sebagai anak yang (mungkin) tidak diharapkan oleh keluargaku. Kakakku tiga, laki semua. Boleh jadi panggilan Rey yang lebih layak diberikan kepada laki-laki itu muncul untukku, penanggungan panggilan.

Aku suka sekali memanggil senja. Apalagi ditambah hujan. Entah mengapa pertemuan antara senja dan hujan ini seolah memiliki makna yang sarat magis untukku, jelas untukku. Aku bukan hanya suka, bahkan jatuh cinta dengan yang namanya senja dan hujan.

Setiap kali aku dihadapkan pada mereka kedua, aku nyaris tak kuasa untuk menolak. Dengan cara apapun itu. Entahlah, entah sampai kapan "jatuh cinta" ini akan bertahan. Pun dengan perasaan ini kepadanya.

Selepas dari bangku kuliah aku sangat tertarik di bidang kepenulisan. Tidak hanya itu, keharianku memang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang memang memiliki kualitas literasi yang layak diberi acungan sebelas jempol (kalau ada). Selama bangku kuliah aku tidak banyak memiliki teman dekat (sepermainan). Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Menulis apapun itu. Sampai-sampai aku pun tak paham dengan apa yang aku tulis.

Beberapa semester awal aku memang lebih fokus bagaimana caranya aku tidak mengeluarkan biaya kuliah yang aku dapat dari orang tuaku. Lebih sadar, aku bukan terlahir dari keluarga yang berlimpah ruah dengan kerlap-kerlip harta. Berbaga macam momen dan ajang kompetisi perlombaan rajin aku ikuti. Tidak sering menang memang, tapi pengalaman yang mengajarkanku. Aku tak banyak menyimpan cerita tentang sepak terjang di berbagai ajang lomba. Yang aku ingat, saat itu aku pernah menjuarai lomba menulis artikel di massa awal masuk kuliah. Sedikit bisa membuat bangga, bukan? Ya! sedikit saja. Lebih dari cukup. Lebih sering aku mendapat juara dengan urutan ranking paling bawah, atau sedikit lebih baiknya urutan kedua dari bawah, mending.

Sepanjang perjalanan kuliahku yang tidak lepas dari masa-masa pelik, aku pun harus menabahkan perasaan ini. Cerita ini lebih tepatnya dimulai beberapa bulan setelah aku sudah lepas dari bangku kuliah.

Begini, pesan mbahku (nenek): jamu itu memang pahit, tapi pahitnya itu untuk menyehatkan.

Itu pesan yang sampai sekarang kadang aku ingat, kalau memang sedang tidak lupa. Pesan ini pula yang mengingatkanku pada satu peristiwa yang pastinya masih sulit untuk kuusahakan agar lupa. Entahlah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar